Namun istilah MENGHADIAHKAN PAHALA atau PENGIRIMAN PAHALA itu harus ada yg di tuju agar bisa sampai pahala itu. Kalau tidak ada siapa yg di tuju, pahala itu tidak akan pernah sampai. Seperti halnya kita mengirim uang tadi tanpa ada alamat yg di tuju, sampai qiyamat ngak akan nyapek. Begitulah analoginya..
Nah sekarang kita simak pendapat dari kalangan madzahibil arba'ah, Pendapat Ulama Dari Masing-Masing Madzhab
1. Madzhab Hanafiyyah (Madzhab Imam Abu Hanifah rohimahulloh)
وَمُشْتَمِلَةٌ عَلَى الْبَدَنِ وَالْمَالِ : كَالْحَجِّ ، فَالْمَالِيَّةُ الْمَحْضَةُ تَجُوزُ فِيهَا النِّيَابَةُ عَلَى الْإِطْلَاقِ وَسَوَاءٌ كَانَ مَنْ عَلَيْهِ قَادِرًا عَلَى الْأَدَاءِ بِنَفْسِهِ أَوْ لَا ؛ لِأَنَّ الْوَاجِبَ فِيهَا إخْرَاجُ الْمَالِ وَأَنَّهُ يَحْصُلُ بِفِعْلِ النَّائِبِ ، وَالْبَدَنِيَّةُ الْمَحْضَةُ لَا تَجُوزُ فِيهَا النِّيَابَةُ عَلَى الْإِطْلَاقِ لِقَوْلِهِ عَزَّ وَجَلَّ { وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إلَّا مَا سَعَى } إلَّا مَا خُصَّ بِدَلِيلٍ وَقَوْلُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ {لَا يَصُومُ أَحَدٌ عَنْ أَحَدٍ وَلَا يُصَلِّي أَحَدٌ عَنْ أَحَدٍ} أَيْ : فِي حَقِّ الْخُرُوجِ عَنْ الْعُهْدَةِ لَا فِي حَقِّ الثَّوَابِ ، فَإِنَّ مَنْ صَامَ أَوْ صَلَّى أَوْ تَصَدَّقَ وَجَعَلَ ثَوَابَهُ لِغَيْرِهِ مِنْ الْأَمْوَاتِ أَوْ الْأَحْيَاءِ جَازَ وَيَصِلُ ثَوَابُهَا إلَيْهِمْ عِنْدَ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ (بدائع الصنائع )
Dan ibadah yang meliputi Diri (badan) dan harta seperti hajji. Adapun ibadah harta murni (zakat, ‘Usyur dll) maka boleh digantikan dalam pelaksanaannya secara muthlaq, baik bagi orang yang mampu melaksanakan sendiri atau tidak mampu, karena yang wajib dalam ibadah tersebut (murni harta) adalah mengeluarkan harta, sedang hal tersebut sudah tercapai dengan dilaksanakan oleh pangganti (Na’ib).
Sedangkan ibadah Badaniyyah Mahdhoh (ibadah murni menggunakan badan) maka tidak boleh digantikan dalam pelaksanaannya secara muthlaq berdasar firman Alloh ‘Azza Wa Jalla (“dan bahwasannya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya” QS. An Najm : 39) kecuali perkara yang dikhususkan oleh dalil, sedangkan sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam: “seseorang tidak dapat berpuasa dan sholat menggantikan orang lain” maksud hadits tersebut adalah Fi Haqqil Khuruj ‘Anil ‘Uhdah (tidak dapat mengeluarkan dari ancaman sebab meninggalkan kewajiban) bukan Fi Haqqits Tsawaab (hak menerima pahala dari orang lain).
Dan sesungguhnya barangsiapa berpuasa atau sholat atau sedekah dan menjadikan pahalanya untuk orang lain baik yg sudah meninggal atau yang masih hidup maka hal itu boleh dan pahalanya bisa sampai kepada mereka (orang yang diberi pahala) menurut kalangan ahlus sunnah wal jama’ah.” (Badai’ush Shonai’, juz 5 hal 235)
وَفِي الْبَحْرِ : مَنْ صَامَ أَوْ صَلَّى أَوْ تَصَدَّقَ وَجَعَلَ ثَوَابَهُ لِغَيْرِهِ مِنْ الْأَمْوَاتِ وَالْأَحْيَاءِ جَازَ ، وَيَصِلُ ثَوَابُهَا إلَيْهِمْ عِنْدَ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ كَذَا فِي الْبَدَائِعِ ، ثُمَّ قَالَ : وَبِهَذَا عُلِمَ أَنَّهُ لَا فَرْقَ بَيْنَ أَنْ يَكُونَ الْمَجْعُولُ لَهُ مَيِّتًا أَوْ حَيًّا . وَالظَّاهِرُ أَنَّهُ لَا فَرْقَ بَيْنَ أَنْ يَنْوِيَ بِهِ عِنْدَ الْفِعْلِ لِلْغَيْرِ أَوْ يَفْعَلَهُ لِنَفْسِهِ ثُمَّ بَعْدَ ذَلِكَ يَجْعَلُ ثَوَابَهُ لِغَيْرِهِ ، لِإِطْلَاقِ كَلَامِهِمْ ، وَأَنَّهُ لَا فَرْقَ بَيْنَ الْفَرْضِ وَالنَّفَلِ .
Dan dalam kitab Al Bahr : Barang siapa berpuasa atau sholat atau bersedekah dan menjadikan pahalanya untuk orang lain baik orang-orang yang sudah meninggal maupun yang masih hidup maka hal tersebut boleh dan pahalanya bisa sampai kepada mereka (orang yang diberi pahala) menurut kalangan ali sunnah wal jama’ah.
Dengan ini dapat diketahui sesungguhnya tidak ada perbedaan keberadaan yang diberi pahala baik orang mati atau yang masih hidup, dan dzohirnya tidak ada perbedaan baik diniatkan ketika melakukan ibadah tersebut atau diniatkan sesudahnya, mengingat muthlaqnya kalam (dawuh) para ulama, dan juga sungguh tidak ada perbedaan antara ibadah fardu dan sunnah”. (Roddul Mukhtar, juz : 6 hal, 405)
2. Madzhab Malikiyyah (Madzhab Imam Malik bin Anas rohimahulloh)
فَأَجَازَهُ بَعْضُهُمْ ) أَيْ وَهُوَ الَّذِي جَرَى بِهِ الْعَمَلُ وَهُوَ مَا عَلَيْهِ الْمُتَأَخِّرُونَ وَقَوْلُهُ : وَكَرِهَهُ بَعْضُهُمْ أَيْ وَهُوَ أَصْلُ الْمَذْهَبِ قَالَ ابْنُ رُشْدٍ مَحَلُّ الْخِلَافِ مَا لَمْ تَخْرُجْ الْقِرَاءَةُ مَخْرَجَ الدُّعَاءِ بِأَنْ يَقُولَ قَبْلَ قِرَاءَتِهِ : اللَّهُمَّ اجْعَلْ ثَوَابَ مَا أَقْرَؤُهُ لِفُلَانٍ ، وَإِلَّا كَانَ الثَّوَابُ لِفُلَانٍ قَوْلًا وَاحِدًا وَجَازَ مِنْ غَيْرِ خِلَافٍ
(Sebagian Ulama membolehkannya) pendapat ini adalah yg berlaku dan menjadi pegangan para ulama mutaakhhirun. Adapun ucapan (mushonnif) tentang sebagian ulama memakruhkannya adalah pendapat asal al madzhab (Imam Malik). Ibnu Rusydi berkata : Muara khilaf (dalam hal ini) adalah selama bacaan al qur’an tersebut tidak keluar ke wilayah do’a, seperti seseorang yg berdo’a sebelum membaca al qur’an; “ YA ALLAH JADIKAN PAHALA APA YG KU BACA UNTUK SI FULAN ” jika tidak demikian (bacaan al qur’an yang masuk kategori do’a) maka pahalanya sampai pada Fulan (orang yang di hadiahi pahala) dengan pandapat yang satu dan boleh tanpa adanya perbedaan pendapat. (Hasyiyah Ad Dasuqiy ‘Alasy Syarhil Kabir, juz 5 hal, 298)
( وَ ) فُضِّلَ ( تَطَوُّعُ ) بِضَمِّ الْوَاوِ مُشَدَّدَةً ( وَلِيِّهِ ) أَيْ : عَاصِبِ الْمَيِّتِ كَابْنِهِ وَأَبِيهِ وَكَذَا سَائِرُ الْأَقَارِبِ وَالْأَجَانِبِ ( عَنْهُ ) أَيْ : الْمَيِّتِ وَكَذَا عَنْ الْحَيِّ ( بِغَيْرِهِ ) أَيْ : الْحَجِّ وَمَثَّلَ لِغَيْرِهِ بِقَوْلِهِ ( كَصَدَقَةٍ وَدُعَاءٍ ) وَهَدْيٍ وَعِتْقٍ لِقَبُولِ هَذِهِ النِّيَابَةِ وَالِاتِّفَاقِ عَلَى وُصُولِ ثَوَابِهَا لِلْمَيِّتِ فَالْمُرَادُ غَيْرُ مَخْصُوصٍ ، وَهُوَ مَا يَقْبَلُ النِّيَابَةَ لَا مَا لَا يَقْبَلُهَا كَصَلَاةٍ وَصَوْمٍ وَقِرَاءَةِ قُرْآنٍ وَيُكْرَهُ تَطَوُّعٌ عَنْهُ بِالْحَجِّ .
Dan dianggap utama Tathowwu’ (mengerjakan ibadah sunnah) oleh wali si mati, yakni yang ditinggal si mati, seperti anaknya, bapaknya, dan juga kerabat dekat maupun jauh sebagai ganti dari si mati, begitu juga sebagai ganti dari yang masih hidup, (dengan ibadah) selain berupa hajji. Muallif mencontohkan ibadah selain hajji seperti shodaqoh dan do’a, memberi hadiah, memerdekakan budak karena ibadah2 tsersebut (selain hajji) dapat digantikan oleh orang lain pelaksanaannya, dan telah disepakati sampainya pahala bagi si mayyit, maka yang dikehendaki tidak terbatas, (Ibadah yang pahalanya bisa sampai kepada orang lain) yakni pada ibadah yg bisa digantikan orang lain bukan ibadah yg tidak bisa digantikan orang lain seperti sholat, puasa dan membaca al qur’an. Dan dimakruhkan ibadah sunnah berupa hajji untuk orang lain. (Minahul Jalil, juz 4 hal, 165)
3. Madzhab Syafi’iyyah (Madzhab Imam As Syafi’iy rohimahulloh)
وَأَمَّا مَا حَكَاهُ أَقْضَى الْقُضَّاةِ أَبُو الْحَسَنِ اَلْمَاوَرْدِى اَلْبَصْرِى اَلْفَقِيْهُ اَلشَّافِعِيّ فِى كِتَابِهِ اَلْحَاوِى عَنْ بَعْضِ أَصْحَابِ الْكَلاَمِ مِنْ أَنَّ الْمَيِّتَ لَا يَلْحَقُهُ بَعْدَ مَوْتِهِ ثَوَابٌ فَهُوَ مَذْهَبٌ بَاطِلٌ قَطْعًا وَخَطَأٌ بَيِّنٌ مُخَالِفٌ لِنُصُوْصِ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَاِجْمَاعِ الْاُمَّةِ فَلاَ اِلْتِفَاتَ إِلَيْهِ وَلَاتَعْرِيْجَ عَلَيْهِ وَأَمَّا الصَّلاَةُ وَالصَّوْمُ فَمَذْهَبُ الشَّافِعِى وَجَمَاهِيْرُ الْعُلَمَاءِ أَنَّهُ لَايَصِلُ ثَوَابُهُمَا إِلَى الْمَيِّتِ اِلاَّ اِذَا كَانَ الصَّوْمُ وَاجِبًا عَلَى الْمَيِّتِ فَقَضَاهُ عَنْهُ وَلِيُّهُ أَوْ مَنْ أَذِنَ لَهُ الْوَلِيُّ فَاِنَّ فِيْهِ قَوْلَيْنِ لِلشَّافِعِى أَشْهَرُهُمَا عَنْهُ أَنَّهُ لاَيَصِحُّ وَأَصَحُّهُمَا عِنْدَ مُحَقِّقِى مُتَأَخِّرِى أَصْحَابِهِ أَنَّهُ يَصِحُّ وَسَتَأْتِى الْمَسْأَلَةُ فِى كِتَابِ الصِّيَامِ اِنْ شَاءَ اللهُ تَعاَلَى وَأَمَّا قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ فَالْمَشْهُوْرُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِى أَنَّهُ لَايَصِلُ ثَوَابُهَا إِلَى الْمَيِّتِ وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِهِ يَصِلُ ثَوَابُهَا إِلَى الْمَيِّتِ وَذَهَبَ جَمَاعَاتٌ مِنَ الْعُلَمَاءِ إِلَى أَنَّهُ يَصِلُ إِلَى الْمَيِّتِ ثَوَابُ جَمِيْعِ الْعِبَادَاتِ مِنَ الصَّلاَةِ وَالصَّوْمِ وَالْقِرَاءَةِ وَغَيْرِ ذَلِكَ وَفِى صَحِيْحِ الْبُخَارِى فِى بَابِ مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ نَذْرٌ أَنَّ بْنَ عُمَرَ أَمَرَ مَنْ مَاتَتْ أُمُّهَا وَعَلَيْهَا صَلاَةٌ أَنْ تُصَلَّى عَنْهَا
Tentang apa yang diriwayatkan Aqdhol Qudhot Abul hasan Al Mawardi As Syafi’iy dalam kitabnya Al Haawi dari sebagian kalangan ahli kalam, ‘bahwasannya mayit tidak mendapati pahala setelah kematiannya’ adalah madzhab yang bathil secara pasti dan jelas keliru sekaligus menyalahi nash-nash al qur’an dan as sunnah serta menyalahi Ijma’ (konsensus) ummat islam, maka tidak perlu dihiraukan dan tidak perlu menanggapinya.
Adapun sholat dan puasa maka madzhab As Syafi’iy dan Jumhur ulama berpendapat bahwa pahala keduanya (sholat dan puasa) tidak dapat sampai kepada mayit, kecuali jika puasa tersebut adalah puasa wajib yang ditinggal mayyit kemudian wali atau orang yang di izini mengqodho’inya sebagai ganti dari mayit. dalam masalah ini ada dua pendapat yang dinisbatkan kepada Imam As Syafi’iy :
Pertama, pendapat yang paling populer (masyhur) dari Imam Syafi’iy hal tersebut tidak sah.
Sedang yang paling sohih dari dua pendapat beliau menurut para Muhaqqiq Mutaakhhir kalangan Syafi’iyyah hal tersebut (menqodo’ puasanya mayit) adalah sah, dan masalah ini dijelaskan pada Kitab As Shiyaam (bab puasa).
Adapun bacaan al qur’an, maka yang populer dari madzhab Syafi’iy adalah pahalanya tidak sampai kepada mayit, sedang sebagian ulama kalangan Syafi’iyyah berpendapat pahala bacaan al qur’an sampai kepada mayit, dan beberapa kelompok Ulama yang lain berpendapat bahwa semua pahala ibadah berupa sholat, puasa, bacaan al qur’an dan yang lain bisa sampai kepada mayit.
Dalam Shohih Bukhori - pada bab orang yg meninggal dan masih berhutang Nadzar- (disebutkan) bahwasannya Ibnu Umar memerintahkan seseorang yang ibunya meninggal dan masih berhutang sholat hendaknya orang tersebut melaksanakan sholat sebagai ganti dari ibunya. (Syarhun Nawawi Ala Muslim, juz 1 hal, 90)
وَسُئِلَ نَفَعَ اللهُ بِهِ كَيْفَ يَدْرِي الْمَيِّتُ بِوُصُولِ الثَّوَابِ له وَهَلْ الْأَنْفَعُ الصَّدَقَةُ أو الْقِرَاءَةُ أو تَسْبِيلُ الْمَاءِ أو الْأَكْلِ فَأَجَابَ بِقَوْلِهِ الْمَشْهُورُ مِنْ مَذْهَبِنَا عَدَمُ وُصُولِ الْقِرَاءَةِ إلَى الْمَيِّتِ إلَّا إنْ قُرِئَ عَلَى الْقَبْرِ أو بَعِيدًا عَنْهُ بِنِيَّتِهِ وَدَعَا عَقِبَهَا
Imam Ibnu Hajar Al Haitami – semoga Alloh memberi kemanfaatan kepada kita dengan beliau – ditanya tentang : Bagaimana mayit bisa tahu kalau pahala (yang dikirim) sampai kepadanya ? dan manakah yang lebih bermanfaat (untuk mayit) antara shodaqoh atau bacaan al qur’an atau menyediakan air dan makanan untuk para pejalan? Beliau menjawab; Yang masyhur/populer dari madzhab Syafi’iy adalah tidak sampainya pahala bacaan al qur’an untuk mayyit, kecuali jika dibaca disamping kuburnya atau dibaca dari jauh tapi dengan diniatkan pahalanya untuk mayit dan berdo’a setelah membaca al qur’an (agar pahalanya disampaikan kepada mayit.) (Al Fatawaa Al Fiqhiyyah Al Kubro, juz 2 hal, 9)
وَاخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ فِي وُصُوْلِ ثَوَابِ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ، فَالْمَشْهُوْرُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِى وَجَمَاعَةٍ أَنَّهُ لَايَصِلُ وَذَهَبَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ وَجَمَاعَةٌ مِنَ الْعُلَمَاءِ وَجَمَاعَةٌ مِنْ أَصْحَابِ الشَّافِعِى إِلَى أَنَّهُ يَصِلُ ، وَالْمُخْتَارُ أَنْ يَقُوْلَ بَعْدَ الْقِرَاءَةِ: اَللَّهُمَّ أَوْصِلْ ثَوَابَ مَا قَرَأْتُهُ، والله أعلم اه
Para ulama berbeda pendapat tentang sampainya pahala bacaan al qur’an untuk mayit, yang masyhur dari madzhab Syafi’iy dan sekelompok ulama, sesungguh-nya pahala bacaan al qur’an tidak sampai. Imam Ahmad bin Hanbal dan sekelompok para ulama juga sekelomok dari kalangan Syafi’iyyah berpendapat pahalanya sampai.
Pendapat yang dipilih adalah hendaknya orang yang membaca al qur’an berdo’a setelah membaca al qur’an : “ YA ALLAH... SAMPAIKANLAH PAHALA APA YG KU BACA (untuk mayit).”. (Al Majmu’ Syarah Al Muhaddzab, juz 15 hal, 522)
Para ulama madzhab Syafi’iy sepakat sampainya pahala kepada mayit, khilafiyah (perbedaan pendapat) berkisar pada amal-amal tertentu seperti bacaan al qur’an, sholat, puasa dan yang lain. Dan pendapat yang dipilih oleh kalangan para ulama besar madzhab Syafi’iy adalah semuanya sampai jika diniatkan dan atau dido’akan agar pahalanya disampaikan untuk mayit.
Imam An Nawawi dalam Syarah Muslim berkata :
وَلِلشَّافِعِي فِي الْمَسْأَلَةِ قَوْلاَنِ مَشْهُوْرَانِ أَشْهَرُهُمَا لَايُصَامُ عَنْهُ وَلاَيَصِحُّ عَنْ مَيِّتٍ صَوْمٌ أَصْلاً وَالثَّانِي يُسْتَحَبُّ لِوَلِيِّهِ أَنْ يَصُوْمَ عَنْهُ وَيَصِحُّ صَوْمُهُ عَنْهُ وَيَبْرَأُ بِهِ الْمَيِّتُ وَلاَيَحْتَاجُ إِلَى اِطْعَامٍ عَنْهُ وَهَذَا الْقَوْلُ هُوَ الصَّحِيْحُ الْمُخْتَارُ الَّذِي نَعْتَقِدُهُ وَهُوَ الَّذِي صَحَّحَهُ مُحَقِّقُو أَصْحَابِنَا اَلْجَامِعُوْنَ بَيْنَ الْفِقْهِ وَالْحَدِيْثِ لِهَذِهِ الْأَحَادِيْثِ الصَّحِيْحَةِ الصَّرِيْحَةِ
Imam As Syafi’iy dalam masalah ini memiliki dua pendapat yang sama-sama masyhur. Dan yang paling masyhur (populer) dari keduanya adalah : Orang yang sudah meninggal tidak dapat digantikan puasanya, dan puasa sebagai ganti orang yang telah meninggal samasekali tidak sah. Pendapat kedua menyatakan : Disunnahkan bagi wali si mati untuk berpuasa sebagai ganti dari si mati sedang puasa sebagai ganti dari si mati adalah sah, dan si mati bebas (dari tanggungan puasanya) sebab puasa yang dilakukan oleh walinya, juga tidak perlu membayar (fidyah) berupa memberi makan. Pendapat inilah yang sohih dan dipilih dan menjadi keyakinan kami, dan pendapat tersebut telah disohihkan oleh para ulama pentahqiq dari kalangan kami (Syafi’iyah), para ulama yang ahli dalam fiqih dan hadits sekaligus, berdasar hadits-hadits (lain) yang sohih dan jelas. (Syarah An Nawawi Ala Muslim, vol. 8, hal.24)
4. Madzhab Hanabilah(Madzhab Imam Ahmad Ibn Hanbal rohimahulloh)
قَالَ أَحْمَدُ : الْمَيِّتُ يَصِلُ إلَيْهِ كُلُّ شَيْءٍ مِنْ الْخَيْرِ ، لِلنُّصُوصِ الْوَارِدَةِ فِيهِ وَلِأَنَّ الْمُسْلِمِينَ يَجْتَمِعُونَ فِي كُلِّ مِصْرٍ وَيَقْرَءُونَ وَيَهْدُونَ لِمَوْتَاهُمْ مِنْ غَيْرِ نَكِيرٍ فَكَانَ إجْمَاعًا
Imam Ahmad berkata : Setiap sesuatu berupa kebaikan (pahalanya) bisa sampai kepada mayit berdasar nash-nash yg ada, dan juga umat islam yg berkumpul disetiap kota, dimana mereka membaca al qur’an dan menghadiahkannya untuk orang2 mati mereka tanpa ada ya mengingkari, maka hal tersebut menjadi Ijma’.
(Kasyaful Qinaa’ An Matnil Iqnaa’, juz 4 hal, 431)
*(مَسْأَلَةٌ)*(وَأَيُّ قُرْبَةٍ فَعَلَهَا وَجَعَلَ ثَوَابَهَا لِلْمَيِّتِ الْمُسْلِمِ نَفَعَهُ ذَلِكَ) أَمَّا الدُّعَاءُ وَالْاِسْتِغْفَارُ وَالصَّدَقَةُ وَقَضَاءُ الدَّيْنِ وَأَدَاءُ الْوَاجِبَاتِ فَلاَ نَعْلَمُ فِيْهِ خِلاَفاً إِذَا كَانَتْ اَلْوَاجِبَاتُ مِمَّا يَدْخُلُهُ النِّيَابَةُ
(Mas’alah) Dan apapun ibadah yang dilakukan dan pahalanya dijadikan untuk mayit yang muslim maka ibadah tersebut bermanfaat baginya. Sedangkan do’a, istighfar, sodaqoh, membayar hutang, melaksanakan kewajiban, maka kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat para ulama jika kewajiban yang dimak-sud adalah kewajiban yang dapat digantikan pelaksanaannya (oleh orang lain).
(As Syarhul Kabir Li Ibni Qudamah, juz 2 hal, 425)
وَكُلُّ قُرْبَةٍ فَعَلَهَا الْمُسْلِمُ وَجَعَلَ ثَوَابَهَا أَوْ بَعْضَهَا كَالنِّصْفِ وَنَحْوِهِ لِمُسْلِمٍ حَيٍّ أَوْ مَيِّتٍ جَازَ وَنَفَعَهُ لِحُصُوْلِ الثَّوَابِ لَهُ حَتَّى لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مِنْ تَطَوُّعٍ وَوَاجِبٍ تَدْخُلُهُ النِّيَابَةُ: كَحَجٍّ وَنَحْوِهِ أَوْلَا: كَصَلاَةٍ وَدُعَاءٍ وَاسْتِغْفَارٍ وَصَدَقَةٍ وَأُضْحِيَةٍ وَأَدَاءِ دَيْنٍ وَصَوْمٍ وَكَذَا قِرَاءَةٌ وَغَيْرُهَا وَاعْتَبَرَ بَعْضُهُمْ إِذَا نَوَاهُ حَالَ الْفِعْلِ أَوْ قَبْلَهُ وَيُسْتَحَبُّ إِهْدَاءُ ذَلِكَ فَيَقُوْلُ: اَللَّهُمَّ اجْعَلْ ثَوَابَ كَذَا لِفُلاَنٍ
Dan setiap ibadah yang dilakukan oleh seorang muslim dan menjadikan keseluruhan atau sebagian pahalnya untuk muslim yang lain baik yang masih hidup atau sudah meninggal, maka hal tersebut boleh dan manfaat baginya karena (orang yang dihadiahi pahala) mendapat pahala untuknya, meskipun ditujukan kepada Rosululloh sollallohu ‘alaihi wasallam, (kebaikan tersebut bisa) berupa ibadah sunnah atau wajib yang pelaksanaannya bisa digantikan seperti hajji atau semacamnya, atau berupa kewajiban yang pelaksanaannya tidak dapat digantikan seperti sholat do’a, istighfar, sodaqoh, qurban, membayar hutang puasa, begitu juga membaca al qur’an dan yg lain. Sebagian ulama mengatakan : Sampainya pahala tersebut, jika diniatkan ketika melakukan ibadah tersebut atau sebelumnya. Dan dianjurkan bagi orang yg menghadiah-kan pahala ibadahnya, hendaknya ia berdo’a : “ YA ALLAH JADIKANLAH PAHALANYA UNTUK SI FULAN ”.
(Al Iqna’ Fi Fiqhil Imam Ahmad Ibn Hanbal, juz 1 hal, 236)
فَصْلٌ .كُلُّ قُرْبَةٍ فَعَلَهَا الْمُسْلِمُ وَجَعَلَ ثَوَابَهَا لِلْمُسْلِمِ نَفَعَهُ ذَلِكَ ، وَحَصَلَ لَهُ الثَّوَابُ ، كَالدُّعَاءِ وَالِاسْتِغْفَارِ وَوَاجِبٍ تَدْخُلُهُ النِّيَابَةُ وَصَدَقَةِ التَّطَوُّعِ وَكَذَا الْعِتْقِ ، ذَكَرَهُ الْقَاضِي وَأَصْحَابُهُ أَصْلًا
Setiap ibadah yang dilakukan oleh seorang muslim dan pahalanya dijadikan untuk orang islam (yg lain) maka ibadah tersebut bermanfaat baginya dan dia (orang yang dihadiahi) mendapat pahala untuknya.(ibadah tersebut) seperti do’a, istighfar, kewajiban yg dapat digantikan, sodaqoh sunnah, begitu juga memerdekakan budak. Al Qodhi dan As habuh menyebutkan sumbernya. (Al Furuu’, juz 3 hal, 355)
Kemudian kita kutip pendapat Ibnu taimiyah mengenai PENGIRIMAN PAHALA BAGI MAYYIT... Bagaimana dengan pendapatnya???
Kita langsung simak saja....
وَسُئِلَ – رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى –
عَنْ قَوْلِهِ تَعَالَى { وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إلَّا مَا سَعَى } وَقَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ { إذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إلَّا مِنْ ثَلَاثٍ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ } فَهَلْ يَقْتَضِي ذَلِكَ إذَا مَاتَ لَا يَصِلُ إلَيْهِ شَيْءٌ مِنْ أَفْعَالِ الْبِرِّ؟
فَأَجَابَ :
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ ، لَيْسَ فِي الْآيَةِ وَلَا فِي الْحَدِيثِ أَنَّ الْمَيِّتَ لَا يَنْتَفِعُ بِدُعَاءِ الْخَلْقِ لَهُ وَبِمَا يُعْمَلُ عَنْهُ مِنْ الْبِرِّ بَلْ أَئِمَّةُ الْإِسْلَامِ مُتَّفِقُونَ عَلَى انْتِفَاعِ الْمَيِّتِ بِذَلِكَ وَهَذَا مِمَّا يُعْلَمُ بِالِاضْطِرَارِ مِنْ دِينِ الْإِسْلَامِ وَقَدْ دَلَّ عَلَيْهِ الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ وَالْإِجْمَاعُ فَمَنْ خَالَفَ ذَلِكَ كَانَ مِنْ أَهْلِ الْبِدَعِ
Syaikh Ibnu Taimiyyah -rahimahullohu ta’aala- ditanya tentang Firman Alloh Swt, “Dan tidaklah bagi seseorang kecuali apa yang telah dia kerjakan”. (QS. An-Najm: 39) dan hadits “Ketika anak Adam mati, putuslah segala amal perbuatannya kecuali tiga perkara; shadaqoh jariyah, ilmu yang dimanfa’atkan, dan anak yang sholeh yang mendo’akan dia.” adakah kedua nash tersebut menunjukkan “jika seseorang telah meninggal maka tak sesuatupun sampai padanya dari perbuatan baik?”
Maka Syaikh Ibnu Taimiyah menjawab :
“Alhamdulillahi Robbil ‘Alamiin, Tidak ada ayat dan juga hadits (yg menyatakan) bahwa mayyit tidak beroleh kemanfaatan dari do’a makhluk dan juga dari amal kebaikan untuknya, bahkan para Imam umat Islam sepakat berolehnya manfaat bagi mayyit dengan itu semua, dan masalah ini adalah termasuk perkara yang diketahui dari islam secara pasti, dan sungguh al qur’an, as sunnah dan ijma’ telah menunjukkan itu semua.
MAKA BARANG SIAPA MENYELISIHINYA MAKA DIA DIA TERMASUK AHLI BID'AH.” (Al Fatawwa Al Kubro, juz 3 hal. 27)
KESIMPULANNYA :
Jadi pendapat ulama dari kalangan madzahibil arba'ah SEPAKAT bahwa pengiriman / penghadiahan pahala do'a, dzikir, bacaan qur'an dan ibadah-ibadah yg lain bagi si mayyit baik hal itu dari keluarganya ataupun orang lain adalah SAMPAI PAHALA ITU, dengan catatan harus ada tawassul kepada siapa pahala itu kita hadiahkan atau kita kirimkan, seperti contoh kalimat : ALLOHUMMA AWSHIL TSAWABA MAA QOR'TUHU atau ALLOHUMMAJ'AL TSAWABA MAA AQRO'UHU LIFULANIN...
Namun jika ada orang yg menyelisihi pendapat diatas, mari kita kutip qoul ibnu taimiyah : BARANG SIAPA MENYELISIHINYA, MAKA DIA TERMASUK AHLI BID'AH....
Wallohua'lam Bisshowab....
Sumber:https://www.facebook.com/arifiensyams
Title : Tentang Mengirim atau Menghadiahkan Pahala Bagi Mayyit
Description : Mengirim Pahala saya analogikan dengan Mengirim UANG . Dalam konteks mengirim pahala adalah merupakan buah atau manfaat dari apa yg di ke...
Description : Mengirim Pahala saya analogikan dengan Mengirim UANG . Dalam konteks mengirim pahala adalah merupakan buah atau manfaat dari apa yg di ke...
0 Response to "Tentang Mengirim atau Menghadiahkan Pahala Bagi Mayyit "
Post a Comment